KISAH KH. SYAFI'I BIN KH. ABDUL MAJID, PAHLAWAN DAN ULAMA PEKALONGAN
Kyai Syafi’i merupakan ulama’ besar
dan menjadi panutan di wilayah Pekalongan. Beliau adalah putra kedua dari
pasangan KH. Abdul Majid bin Katijoyo dan Ibu Ruqoyyah. Beliau lahir pada tahun
1908 M di Dukuh Kemisan yang sekarang termasuk wilayah Kradenan. Diantara
saudara-saudara beliau yaitu H. Mawardi, H. Sya’ban, H. Sausari, dan H.
Khulari. Kyai Syafi’i mempunyai dua orang istri yaitu Ibu Shofiyah dan Ibu
Munipah.
Awalnya Kyai Syafi’i mengaji kepada
ayahnya sendiri yaitu KH. Abdul Majid (pendiri Masjid Jami Pringlangu, sekarang
dikenal sebagai Masjid Jami’ Asy-Syafi’i). Setelah itu beliau nyantri di Pondok
Pesantren Kempek Cirebon. Beliau kemudian dibawa ke Makkah oleh saudara dari H.
Nahrowi, Kyai Syafi’i sendiri sejak kecil sudah diangkat anak oleh H. Nahrowi.
Tak cukup sampai disitu, Kyai Syafi’i juga melanjutkan nyantri ke Pondok
Kaliwungu dan Pondok Tebuireng.
Setelah pulang ke Pekalongan Kyai
Syafi’i mengajar Tafsir Al-Qur’an di musholla di samping rumahnya serta
mengajar juga di Masjid Pringlangu. Ketekunan dan konsisten
dalam mengajar agama membuat Kyai Syafi’i kemudian terkenal. Santrinya pun
sangat banyak. Pada masa itu, tentara Jepang masih menduduki wilayah
Pekalongan. Salah seorang santri Kyai Syafi’i yang bernama Anwar warga Kandang
Panjang mengatakan, pada masa itu semua pemuda giat mencari ilmu agama.
Gemblengan Kyai Syafi’i begitu hebat sehingga manfaatnya masih bisa dirasakan
hingga hari tuanya.
Nama Kyai Syafi’i tidak
bisa dilepaskan dari perjuangan mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Pekalongan. Sampailah pada suatu
kabar bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Hal ini menimbulkan gejolak di masyarakat Pekalongan. Pemuda-pemuda Pekalongan
kala itu bertekad untuk meminta Jepang secepatnya menyerah. Menurut penuturan
Ken Raharja, Kyai Syafi’i ikut memelopori pengibaran bendera merah putih dalam
sebuah upacara yang di pusatkan di Kajen pada akhir September 1945.
Kyai Syafi’i bersama
Kyai Siraj dan sejumlah tokoh-tokoh lainya mendukung dikukuhkanya Mister Besar
sebagai Residen Pekalongan oleh Presiden Soekarno. Untuk itulah, kemudian
diadakan rapat di alun-alun Pekalongan. Tidak lama kemudian segera diumumkan
kemerdekaan Indonesia dan secara resmi Jepang menyerahkan kekuasaannya pada
Mister Besar pada hari Kamis 27 September 1945. Setelah itu pada hari Sabtu 29 September
1945, sekitar pukul 07.30 pagi diadakan pawai untuk menyambut kemerdekaan
dengan diikuti ribuan orang dan barisan memanjang hingga mencapai 3 km.
Tanggal 3 Oktober 1945
sehabis salat Subuh, ribuan orang dari Doro, Kedungwuni, Kajen, Wonopringgo, Pekajangan,
dan Pekalongan sudah berada di halaman rumahnya. Mereka berkumpul dan meminta
didoakan sebelum berangkat menuju markas kempetai. Usaha-usaha pengambilalihan
kekuasaan dari tangan Jepang, tidak sepenuhnya berjalan mulus. Hal itu
dikarenakan Jepang masih memegang kendali dan belum mau menyerahkan kekuasaan
dan persenjataan miliknya.
Menurut Lukman Hakim
warga Pringlangu Gg. 5, barisan pemuda mememuhi jalan dari depan rumah Pak Kyai
Syafi’i hingga ke Bendo Buaran dan ke arah utara sampai di sekitar Medono.
Setelah didoakan, mereka dengan membawa perlengkapan seadanya, kemudian
mengepung markas kempetai di depan lapangan Kebon Rodjo yang sekarang Masjid
Syuhada.
Para delegasi
Pekalongan termasuk Kyai Haji Syafi’i berada di barisan depan sambil menunggu
perwakilan Pekalongan berunding dengan pimpinan tentara Jepang. Almarhum Haji
Jazuli warga Sampangan menceritakan Kyai Syafi’i tokoh yang tampil di barisan
paling depan bersama para santrinya. Kyai Syafi’i bersama Kyai Siraj berupaya
mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah Jepang dari tanah
Pekalongan. Pertempuran tak seimbang itu menyebabkan 37 korban dan 12 lainnya
luka-luka dari pihak pejuang Pekalongan. Namun, banyak pejuang kita yang
menewaskan tentara Jepang, yang akhirnya angkat kaki dari wilayah Pekalongan.
Semenjak itulah, Pekalongan pada tanggal 7 Oktober 1945 merupakan daerah di
Indonesia yang terbebas dari belengu Jepang.
Kiprah Kyai Syafi’i kemudian
berlanjut saat negara ini baru saja merdeka. Pada waktu itu pemerintahan baru
berumur beberapa bulan harus menghadapi ujian dari gerombolan Tiga Daerah. Tiga
Daerah ingin menguasai dan menganti elit birokrat dengan pemimpin baru
mengatasnamakan pilihan rakyat.
Kyai Syafi’i dan Kyai Siraj kemudian
diutus oleh Residen R.M.Soeprapto untuk mengikuti pertemuan yang digagas oleh
pemimpin Tiga Daerah di Pemalang. Dalam perjalanan dengan mobil menuju Pemalang
kedua tokoh Pekalongan beberapa kali harus berhenti diperiksa oleh
pengikut-pengikut Tiga Daerah yang bersenjatakan parang dan bambu runcing.
Ketika sampai di Pemalang, Kyai
Syafi’i dan Kyai Siraj mendengarkan penjelasan salah satu tokoh Tiga Daerah,
yaitu K. Mijaya. Kyai Syafi dan Kyai Siraj segera menarik kesimpulan bahwa
gerombolan Tiga Daerah berhaluan komunis sehingga keduanya segera meninggalkan
lokasi perundingan. Beruntung dalam waktu dekat TKR segera bertindak dan
menangkap pelaku Tiga Daerah dan menyidangkanya di Pengadilan Negeri
Pekalongan.
Setelah agresi militer Belanda
kedua, perjuangan beliau berlanjut, salah satunya adalah merintis lahirnya
Jam’iyah Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pekalongan. Kyai Haji Syafi’i Abdul Majid
juga berperan dalam bidang politik, yaitu lewat Partai Masyumi. Partai tersebut
merupakan gabungan dari beberapa ormas Islam di Indonesia. Lewat Masyumi Kyai
Syafi’i menjadi salah satu anggota DPRD Kabupaten Pekalongan pada pemilu
pertama tahun 1955. Dalam bidang pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kiprah Kyai
Syafi’i diwujudkan lewat Koperasi Pembatikan Buaran.
Kiprah dari tokoh kita ini memang
luar biasa, salah satunya adalah melahirkan gagasan yang kemudian menjadi cikal
bakal lahirnya Musabaqoh Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional sekitar tahun
1950-an. Hanya sayangnya, gagasannya baru teralisir tahun 1968 setelah
sahabatnya K.H. Muhammad Ilyas menjadi Menteri Agama. Selain itu, Kyai Syafi’i
juga sangat berperan dalam perkembangan dunia pendidikan di Pekalongan Selatan,
yaitu dengan pendirian pondok pesantren maupun sejumlah sekolah, diantaranya
Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII Pringlangu), SDI Buaran, SMP Islam Buaran
(Komplek YPI Buaran), dan bersama KH. Akrom Khasani kemudian merintis Pondok
Pesantren Buaran.
Kyai Syafi’i adalah teladan bagi
masyarakat Pekalongan dan keluarganya. Abdul Hakim Kurniawan, salah seorang
putra Kyai Syafi’i mengatakan bahwa ayahnya selalu menekankan kepada
anak-anaknya dan sangat melarang mengunakan namanya untuk mencapai suatu
tujuan. “Kyai Syafi’i selalu mengajarkan anaknya supaya mandiri. Ayah tidak
senang jika anaknya mengunakan nama besarnya untuk meraih sesuatu,” ungkapnya.
Diantara ajaran Kyai Syafi’i yang
disampaikan kepada para santrinya adalah untuk senantiasa menjaga kelestarian
Al-Qur’an serta hidup bermasyarakat dengan tetap memegang teguh Al-Qur’an
sebagai kendali dalam kehidupan.
Kyai Syafi’i wafat pada tahun 1982 M
di Jakarta. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman belakang Masjid Jami’
Pringlangu Pekalongan. Haul Kyai Syafi’i diperingati setiap tanggal 11 Rabiul
Awwal setiap tahunnya. (Dari berbagai sumber).
Komentar
Posting Komentar