Sejarah, kelahiran dan Derap langkah GP ANSOR - BANSER
Sejarah, kelahiran dan Derap
langkah GP ANSOR - BANSER
Sejumlah aksi massa PKI yang dimulai
pada pertengahan 1961 adalah peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13
Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap,
Kalibaru, dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November
1961), peristiwa GAS di kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai
peristiwa pembunuhan KH Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan, Madura (28
Juli 1965).
PERLAWANAN GP ANSOR
Aksi-aksi massa sepihak yang
dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di
kalangan warga masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresahkan karena pada
umumnya yang menjadi korban dari aksi-aksi massa sepihak tersebut adalah
anggota PNI, PSI, ex-Masyumi, NU, dan bahkan organisasi Muhammadiyah.
Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah
mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan kecuali
dari GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964.
Perlawanan anggota GP Ansor sendiri
tidak selalu dilatari oleh persoalan yang dihadapi warga Nahdliyyin berkenaan
dengan aksi-aksi massa sepihak PKI, melainkan dilatari pula oleh permintaan
perlindungan dari warga PNI, ex-Masyumi maupun Muhammadiyah. Di antara
perlawanan yang pernah dilakukan oleh GP Ansor terhadap aksi-aksi massa sepihak
PKI adalah peristiwa Nongkorejo, Kencong, Kediri di mana pihak PKI didukung
oleh oknum aparat seperti Jaini (Juru Penerang) dan Peltu Gatot, wakil komandan
Koramil setempat. Dalam kasus itu, PKI telah mengkapling dan menanami lahan
milik Haji Samur. Haji Samur kemudian minta bantuan GP Ansor. Terjadi bentrok
fisik antara Sukemi (PKI) dengan Nuriman (Ansor). Sukemi lari dengan tubuh
berlumur darah. Pengikutnya lari ketakutan.
Pecah pula peristiwa Kerep, Grogol,
Kediri. Ceritanya, tanah milik Haji Amir warga Muhammadiyah oleh PKI dan BTI
diklaim sebagai tanah klobot, padahal itu tanah hak milik. Setelah klaim itu,
PKI dan BTI menanam kacang dan ketela di antara tanaman jagung di lahan Haji
Amir.
Karena merasa tidak berdaya, maka
Haji Amir meminta bantuan kepada Gus Maksum di pesantren Lirboyo. Puluhan Ansor
dari Lirboyo bersenjata clurit dan parang, menghalau PKI dan BTI dari lahan
Haji Amir.
Tawuran massal Ansor dengan Pemuda
Rakyat pecah pula di Malang. Ceritanya, Karim DP (Sekjen PWI) datang ke kota
Malang dan dalam pidatonya mengecam kaum beragama sebagai borjuis-feodal yang
harus diganyang. Mendengar pidato Karim DP itu, para pemuda Ansor langsung naik
ke podium dan langsung menyerang Karim. Para anggota Pemuda Rakyat membela.
Terjadi bentrok fisik. Pemuda Rakyat banyak yang luka.
KELAHIRAN BANSER
Aksi massa sepihak yang dilakukan
oleh PKI pada kenyataannya sangat meresahkan masyarakat terutama umat Islam.
Sebab dalam aksi-aksi itu, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap
apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan desa dimaksud adalah tuan
tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa,
dan pengirim zakat (LSIK, 1988:72).
Dengan masuknya ‘pengirim zakat’ ke
dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam. aksi
massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya,
PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah
melainkan merampas pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan,
sekolah-sekolah negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Hal ini terutama terjadi di Blitar.
Dengan aksi itu, baik perangkat desa
maupun guru-guru yang ingin terus bekerja harus menjadi anggota PKI.
Atas dasar aksi sepihak PKI itulah
kemudian pengurus Ansor kabupaten Blitar membentuk sebuah barisan khusus yang
bertugas menghadapi aksi sepihak PKI. Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh
pengurus GP Ansor seperti Kayubi, Fadhil, Pangat, Romdhon, Danuri, Chudori, Ali
Muksin, H. Badjuri, Atim, Abdurrohim Sidik , diputuskanlah nama Barisan Ansor
Serbaguna disingkat Banser. Pencetus nama Banser adalah Fadhil, yang diterima
aklamasi.
Karena Banser adalah suatu kekuatan
paramiliter serba guna yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di masa
genting maupun aman, maka lambang yang disepakati dewasa itu berkaitan dengan
keberadaan Banser.
Dalam tempo singkat, setelah Banser
Blitar terbentuk, secara berantai dibentuklah Banser di berbagai daerah. Dan
pada 24 April 1964, Banser dinyatakan sebagai program Ansor secara nasional.
Mula-mula, Banser dilatih oleh anggota Brimob.
Kemudian dilatih pula oleh RPKAD
(Kopasus), Raiders dan batalyon-batalyon yang terdekat. Selain dibina oleh
pihak militer, Banser secara khusus dibina oleh para kiai dan ulama tarekat
dengan berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan. Di antara kiai yang terkenal
sebagai pembina spiritual Banser dewasa itu adalah Kiai Abdul Djalil Mustaqim
(Tulungagung) , KH Badrus Sholeh (Purwoasri, Kediri), KH Machrus Ali dan KH
Syafii Marzuki (Lirboyo, kediri), KH Mas Muhadjir (Sidosermo, Surabaya), KH
Djawahiri (Kencong, Kediri), KH Shodiq (Pagu, Kediri), KH Abdullah Sidiq
(Jember).
Hasil kongkret dari pembentukan
Banser, perlawanan terhadap aksi sepihak PKI makin meningkat.
Kordinasi-kordinasi yang dilakukan anggota Banser untuk memobilisasi kekuatan
berlangsung sangat cepat dan rapi. Dalam keadaan seperti itu, mulai sering
terjadi bentrokan-bentrokan fisik antara Banser dengan PKI. Bahkan pada
gilirannya, terjadi serangan-serangan yang dilakukan anggota Banser terhadap
aksi-aksi massa maupun anggota PKI. Demikianlah, pecah berbagai bentrokan fisik
antara Banser dengan PKI di berbagai tempat seperti: Peristiwa Kanigoro.
13 Januari 1965 tepat pukul 04.30
WIB, sekitar 10.000 orang Pemuda Rakyat dan BTI melakukan penyerbuan terhadap
pondok pesantren Kanigoro, Kras, Kediri. Alasan mereka melakukan penyerbuan,
karena di pesantren itu sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar
Indonesia (PII). Pimpinan penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono. Massa Pemuda
Rakyat dan BTI itu menyerbu dengan bersenjatakan golok, pedang, kelewang, arit,
dan pentungan sambil berteriak histeris: – ‘Ganyang santri!’, ‘Ganyang
Serban!’, ‘Ganyang Kapitalis!’, ‘Ganyang Masyumi!’.
Para anggota PR dan BTI yang sudah
beringas itu kemudian mengumpulkan kitab-kitab pelajaran agama dan Al-Qur’an.
Kemudian semua dimasukkan ke dalam karung dan diinjak-injak sambil memaki-
maki.
Pimpinan pondok, Haji Said Koenan,
dan pengasuh pesantren KH Djauhari, ditangkap dan dianiaya. Para pengurus PII
digiring dalam arak-arakan menuju Polsek setempat. Para anggota PR dan BTI
menyatakan, bahwa PII adalah anak organisasi Masyumi yang sudah dilarang. Jadi
PII, menurut PKI, berusaha melakukan tindak makar dengan mengadakan
training-training politik.
Peristiwa penyerangan PR dan BTI
terhadap pesantren Kanigoro, dalam tempo singkat menyulut kemarahan Banser
Kediri.
Gus Maksum – putera KH Djauhari —
segera melakukan konsolidasi. Siang itu, 13 Januari 1965, delapan truk berisi
Banser dari Kediri datang ke Kanigoro.Markas dan rumah-rumah anggota PKI
digrebek. Suryadi dan Harmono, pimpinan PR dan BTI, ditangkap dan diserahkan ke
Polsek.
BANSER VERSUS LEKRA
Bentrok Banser dengan PKI pecah di
Prambon. Awal dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon
yang menyakiti hati umat Islam yakni : ‘Gusti Allah dadi manten’ (Allah menjadi
pengantin).
Pada saat ludruk sedang ramai, tiba-
tiba Banser melakukan serangan mendadak. Ludruk dibubarkan. Para pemain
dihajar. Bahkan salah seorang pemain yang memerankan raja, saking ketakutan
bersembunyi di kebun dengan pakaian raja.
Bulan Juli 1965, terjadi insiden di
Dampit kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan
dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon ‘Malaikat kimpoi’. Banser datang
dari berbagai desa sekitar. Pada saat ludruk dipentaskan para anggota Banser
yang menonton di bawah panggung segera melompat ke atas panggung. Kemudian
dengan pisau terhunus, satu demi satu para pemain itu dicengkeram tubuhnya dan
kemudian disobek mulutnya dengan pisau. Melihat keberingasan Banser, penonton
bubar ketakutan. Mereka takut diamuk Banser.
Menjelang pecahnya peristiwa 1
Oktober 1965 yang diberi nama “Gerakan 30 September”, aksi-aksi PKI yang
menista dan menodai agama memang makin meningkat. Namun tidak ada satu pun
organisasi Islam baik Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PII, HMI, apalagi
perorangan yang berani melakukan perlawanan kecuali Banser. Dan sejarah memang
mencatat, sebelum pecahnya G-30-S/PKI antara PKI dan Banser memang sering
terlibat bentrokan fisik yang menumpahkan darah gara-gara kasus penodaan agama.
Bahkan pada sejumlah kasus, terdapat sejumlah jagoan PKI yang dibantai oleh
Banser seperti peristiwa Kencong, Kediri, dan Pagedangan, Turen, Malang.
Aksi sepihak yang dilakukan PKI
berpuncak pada pembunuhan atas Pelda Sudjono di Bandar Betsy. Dengan menggunakan
cangkul, linggis, pentungan, dan kapak sekitar 200 orang BTI membantai perwira
itu. Pembantaian terhadap anggota militer itu mendapat reaksi keras dari Letjen
A Yani. Tokoh-tokoh PKI yang mendalangi kemudian diproses secara hukum. Namun
hal itu makin menambah keberanian PKI dalam melakukan aksi sepihak.
PKI yang sudah merasa kuat, kemudian
melakukan intervensi ke bidang politik dengan merekayasa suatu “kebulatan
tekad” dari organisasi se-aspirasi mereka. Tanggal 6 Januari 1965, organisasi
se-aspirasi PKI seperti SB/SS Pegawai Negeri, Lekra, Gerwani, Wanita Indonesia,
Pemuda Indonesia, Germindo, Pemuda Demokrat, Pemuda Rakyat, BTI dan sebagainya
mengadakan pertemuan umum di Semarang guna menggalang “kebulatan tekad” untuk
menuntut pembubaran Badan Pendukung Sukarno.
PKI yang sudah merasa kuat, kemudian
melakukan intervensi ke bidang politik dengan merekayasa suatu “kebulatan
tekad” dari organisasi se-aspirasi mereka. Tanggal 6 Januari 1965, organisasi
se-aspirasi PKI seperti SB/SS Pegawai Negeri, Lekra, Gerwani, Wanita Indonesia,
Pemuda Indonesia, Germindo, Pemuda Demokrat, Pemuda Rakyat, BTI dan sebagainya
mengadakan pertemuan umum di Semarang guna menggalang “kebulatan tekad” untuk
menuntut pembubaran Badan Pendukung, Soekarno (BPS) dan mendukung sikap
Indonesia keluar dari PBB (Pusjarah ABRI, 1995,IV-A:107- 108).
Keberanian PKI dalam melakukan aksi
sepihak, ditunjukkan dalam aksi yang lebih berani yakni menduduki kantor
kecamatan Kepung, Kediri. Camat Samadikun dan Mantri Polisi Musin, melarikan
diri dan meminta perlindungan Ketua Ansor Kepung yaitu Abdul Wahid. Untuk
sementara, kantor kecamatan dipindah ke rumah Abdul Wahid. Dan sehari kemudian,
sekitar 1000 orang Banser melakukan serangan ke kantor kecamatan untuk merebutnya
dari kekuasaan PKI. Hanya dengan bantuan Gerwani, ratusan PKI yang menguasai
kantor itu bisa lolos dari sergapan Banser.
PKI juga telah mulai berani membunuh
tokoh PNI. Ceritanya, di desa Senowo, Kenocng, Kediri, tokoh PNI bernama Paisun
diculik PKI desa Botorejo dan Biro. Keluarganya lapor kepada Ansor. Waktu
dicari, mayat Paisun ditemukan di WC dengan dubur ditusuk bambu tembus ke dada.
Banser dibantu warga PNI menyerang
para penculik. Tokoh-tokoh PKI dari Botorejo dan Biro diburu. Malah dalang PKI
bernama Djamadi, dibunuh sekalian karena menjadi penunjuk jalan PKI.
Juni 1965, Naim seorang pendekar PKI
desa Pagedangan, Turen, Malang, menantang Banser sambil membanting Al-Qur’an.
Naim dibunuh Banser bernama Samad. Mayatnya dibenamkan di sungai...
KUDETA 1 OKTOBER 1965
Tanggal 1 Oktober 1965 mulai pukul
03.30 sampai 05.00, gerakan makar PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung menculik
para Jenderal AD yang difitnah sebagai anggota Dewan Jenderal. Letjen Ahmad
Yani, Brigjen DI Panjaitan, Mayjen Soetoyo, Mayjen Soeprapto, Brigjen S.
Parman, dan Mayjen Haryono MT mereka culik dan bunuh (Puspen AD, 1965: 9-10).
Sekalipun aksi itu terjadi 1 Oktober
1965, PKI menamakan aksinya itu dengan nama Gerakan 30 September”.
Tanggal 1 Oktober itu juga, Letkol
Untung menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan Dewan Revolusi.
Untung juga menyatakan kabinet
demisioner.
Pangkat para jenderal diturunkan
sampai setingkat letnan kolonel, dan prajurit yang mendukung Dewan Revolusi
dinaikkan pangkat satu sampai dua tingkat.
Aksi sepihak Letkol Untung yang
menculik para jenderal dan membentuk Dewan Revolusi serta mendemisioner kabinet,
jelas merupakan upaya kudeta. Sebab dalam Dewan Revolusi itu tidak terdapat
nama Presiden Soekarno.
Kabinet yang didemisioner pun adalah
cabinet Soekarno. Dan jenderal-jenderal yang diculik pun adalah
jenderal-jenderal yang Setia pada Soekarno. Bahkan Jenderal A.H. Nasution,
adalah jenderal yang pernah ditugasi Soekarno untuk menumpas PKI dalam
pemberontakan di Madiun 1948.
Menghadapi aksi sepihak Letkol
Untung, tanggal 1 Oktober 1965 itu juga PBNU mengeluarkan pernyataan sikap
untuk mengutuk gerakan tersebut.
Pada 2 Oktober 1965, pimpinan muda
NU, Subchan Z.E., membentuk Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gerakan
30 September disingkat KAP GESTAPU yang mengutuk dan mengganyang aksi kudeta 1
oktober 1965 itu.
Tanggal 2 Oktober itu pula Mayjen
Sutjipto, Ketua Gabungan V KOTI, mengundang wakil-wakil ormas dan orpol yang
setia pada Pancasila ke Mabes KOTI di Jl Merdeka Barat. Rapat kemudian
memutuskan untuk secara bulat berdiri di belakang Jenderal Soeharto dan
Angkatan Darat (O.G. Roeder, 1987: 48-49). Sementara di Kediri, tanggal 2
Oktober 1965 sudah tersebar pamflet-pamflet yang menyatakan bahwa dalang di
balik peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI.
BENTROK BANSER VS PKI
10 Oktober 1965, sekalipun PKI
menyatakan bahwa peristiwa 1 Oktober yang dinamai ‘Gerakan 30 September’ itu
adalah persoalan intern AD dan PKI tidak tahu-menahu, anggota Banser di
kabupaten Malang mulai menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya.
Hari itu juga, tokoh-tokoh PKI di
daerah Turen mulai diserang Banser dan dibunuh. Di antara tokoh PKI yang
terbunuh saat itu adalah Suwoto, Bowo, dan Kasiadi. Palis, kawan akrab Bowo,
karena takut dibunuh Banser malah bunuh diri di kuburan desa Pagedangan.
11 Oktober 1965, Banser beserta
santri dari berbagai pesantren di Tulungagung menyerang PKI di kawasan Pabrik
Gula Mojopanggung. Sekitar 3 ribu orang PKI yang sudah bersiaga dengan senjata
panah, kelewang, tombak, pedang, clurit, air keras, dan lubang-lubang di dalam
rumah, berhasil dilumpuhkan. Tanpa melakukan perlawanan berarti, pasukan PKI
itu ditangkapi Banser.
Para anggota Banser dan santri yang
usianya sekitar 13 – 16 tahun itu, berhasil melumpuhkan para jagoan PKI.
Pada 12 Oktober 1965, sekitar 3 ribu
orang anggota Banser mengadakan apel di alun-alun Kediri. Setelah apel usai,
mereka bergerak menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya di sepanjang
jalan yang mereka lewati. Di markas PKI di desa Burengan, telah siaga sekitar 5
ribu orang PKI dengan bermacam- macam senjata.
Iring-iringan Banser yang dipimpin
Bintoro, Ubaid dan Nur Rohim itu kemudian dihadang oleh PKI. Terjadi bentrokan
berdarah dalam bentuk tawuran massal. Sekitar 100 orang PKI di sekitar markas itu
tewas. Sementara, di pihak Banser tidak satupun jatuh korban. Dalam peristiwa
itu, Banser mendapat pujian dari Letkol Soemarsono, komandan Brigif 6 Kediri
karena kemenangan mutlak Banser dalam tawuran massal itu.
Pada 13 Oktober 1965, sekitar 10 ribu
orang PKI di kecamatan Kepung, Kediri, melakukan unjuk kekuatan dalam upacara
pemakaman mayat Sikat tokoh PKI setempat yang tewas dalam peristiwa di
Burengan. Mereka menyatakan akan membalas kematian para pimpinan mereka. Dan
sore hari, dua orang santri dari pondok Kencong yang pulang ke desanya di
Dermo, Plosoklaten, dicegat di tengah jalan. Seorang dibunuh. Tubuh dicincang.
Seorang dikubur hidup-hidup.
Kematian dua orang santri yang masih
remaja itu, membuat Banser marah. Tapi mereka belum berani menyerbu ke desa
Dermo, karena kedudukan PKI di situ sangat kuat. khirnya, Banser setempat
meminta bantuan Banser dari pondok Tebuireng, Jombang. Dengan kekuatan lima
truk, Banser Tebuireng masuk ke desa Dermo. Truk mereka diberi tulisan BTI
singkatan dari Banser Tebu Ireng. Rupanya, PKI menduga bahwa BTI itu adalah
Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas mereka. Walhasil, bagaikan siasat
“kuda Troya”, pertahanan PKI di desa Dermo dihancurkan dari dalam.
Pertarungan antara Banser dengan PKI
yang berakibat fatal bagi Banser adalah di Banyuwangi. Ceritanya, Banser dari
Muncar yang umumnya dari suku Madura dikenal amat bersemangat mengganyang PKI.
Itu sebabnya, pada 17 Oktober 1965, di bawah pimpinan Mursyid, dengan kekuatan
tiga truk mereka menyerang kubu PKI di Karangasem. Di Karangasem, terjadi
bentrok berdarah setelah Banser tertipu dengan makana beracun. Dalam bentrokan
itu 93 orang Banser gugur. Sisanya melarikan diri ke arah Jajag dan ke arah
Cluring. Ternyata, Banser yang lari ke Cluring dihadang PKI di desa itu.
Sekitar 62 orang Banser dibantai dan dimakamkan di tiga lubang dekat kuburan
desa.
Pada 27 Oktober 1965, pemerintah
mengeluarkan seruan agar masing-masing ormas tidak saling membunuh dan
melakukan aksi kekerasan. Siapa saja yang melakukan penyerangan sepihak, akan
diadili sebagai penjahat.
Seruan itu dimanfaatkan oleh PKI.
Mereka melaporkan anggota Banser yang telah membunuh keluarga mereka. Dan
jadilah hari-hari sesudah 27 Oktober itu penangkapan dan pemburuan aparat
keamanan terhadap Banser.
PENUMPASAN PKI
Dalam bulan November-Desember,
setelah sejumlah pimpinan PKI seperti Brigjen Supardjo, Letkol Untung, Nyono,
Nyoto, dan Aidit diberitakan tertangkap, makin terkuaklah bahwa perancang
kudeta 1 Oktober 1965 adalah PKI. Saat-saat itulah pihak ABRI khususnya AD
mulai melakukan pembersihan dan penumpasan terhadap PKI beserta ormas-ormasnya.
Dan tangan kanan yang digunakan oleh pihak militer itu adalah “anak didik”
mereka sendiri dalam hal ini adalah Banser yang memiliki jumlah anggota puluhan
ribu orang.
Dalam suatu aksi penangkapan dan
penumpasan PKI di Kediri, misalnya, pihak AD hanya menurunkan 21 personil.
Sedang Banser yang dilibatkan mencapai jumlah 20 ribu orang lebih. Dengan
jumlah yang besar itu, diadakan operasi yang disebut “Pagar Betis” yakni
wilayah kecamatan Kepung dikepung oleh Banser dalam jarak satu meter tiap
orang. Dengan cara pagar betis itulah, PKI tidak dapat lolos. Sekitar 6000
orang PKI tertangkap (kisah lengkap terdapat dalam buku berjudul “Banser Berjihad Menumpas PKI” 1996).
Penangkapan besar-besaran juga
terjadi di Banyuwangi, Blitar, Malang, Tulungagung, Lumajang dan kesemuanya
melibatkan Banser. Mengenai keterlibatan Banser dalam menumpas PKI, itu
Komandan Kodim Kediri Mayor Chambali (alm) menyatakan bahwa hal itu merupakan
strategi ABRI yang ampuh. Sebab di tubuh Banser tidak tersusupi unsur PKI.
Sementara jika dalam penumpasan itu hanya ABRI yang dilibatkan, maka pihak ABRI
sendiri belum bisa menentukan siapa lawan dan siapa kawan karena banyaknya
anggota ABRI yang dibina PKI.
OPERASI TRISULA
Tahun 1968, ketika PKI sudah
dibubarkan dan pengikutnya ditumpas, terjadi aksi-aksi kerusuhan di Blitar
Selatan. Aksi- aksi kerusuhan yang berupa perampokan, penganiayaan, penculikan,
dan pembunuhan itu selalu mengambil korban warga NU dan PNI. Sejumlah korban
yang terbunuh, misalnya, Kiai Maksum dari Plosorejo, Kademangan. Sesudah itu
Imam Masjid Dawuhan. Tokoh PNI yang terbunuh adalah Manun dari desa Dawuhan,
kemudian Susanto Kepala Sekolah Panggungasri, dan Sastro kepala Jawatan
Penerangan Binangun. Puncaknya, 2 orang anggota Banser yang sedang jaga
keamanan di gardu di bunuh.
Para pimpinan Ansor Blitar melaporkan
kecurigaan mereka kepada Komandan Kodim akan bangkitnya kembali kekuatan PKI di
Blitar. Namun laporan itu tak digubris. Akhirnya, mereka menghubungi seorang
aktivis Ansor yang menjadi Danrem Madiun yakni Kolonel Kholil Thohir. Oleh
Kholil Thohir disiapkan 3 batalyon yaitu 521, 511, dan 527 untuk operasi yang
diberi nama sandi “Operasi Blitar Selatan” . Namun operasi berkekuatan 3
batalyon itu tidak mampu mengatasi gerakan gerilya PKI.
Operasi kemudian diambil-alih oleh
Kodam VIII/ Brawijaya yang menurunkan 5 batalyon yaitu 521, 511, 527, 513, dan
531 dengan Perintah Operasi No.01/2/1968. Namun operasi dari...
[15:29, 12/12/2017] +62
815-6788-4040: Sedikit lanjutan..
batalyon 521, 511, dan 527 untuk
operasi yang diberi nama sandi “Operasi Blitar Selatan” . Namun operasi
berkekuatan 3 batalyon itu tidak mampu mengatasi gerakan gerilya PKI.
Operasi kemudian diambil-alih oleh
Kodam VIII/ Brawijaya yang menurunkan 5 batalyon yaitu 521, 511, 527, 513, dan
531 dengan Perintah Operasi No.01/2/1968. Namun operasi dari Kodam inipun
kurang efektif. Akhirnya, setelah dievaluasi diadakan operasi besar-besaran
dengan melibatkan semua unsur yakni kelima batalyon ditambah unsur-unsur lain
termasuk 10 ribu orang hansip dan warga masyarakat Blitar Selatan. Surat
perintah operasi itu bernomor 02/5/1968.
Dan penting dicatat bahwa 10 ribu orang Hansip
itu adalah anggota Banser yang diberi pakaian Hansip.
Dalam operasi terpadu yang diberi
nama sandi “Operasi Trisula” itu, sejumlah tokoh PKI berhasil ditewaskan. Di
antara mereka itu adalah Ir Surachman dan Oloan Hutapea. Sedang mereka yang
tertangkap di antaranya adalah Ruslan Wijayasastra, Tjugito, Rewang, Kapten
Kasmidjan, Kapten Sutjiptohadi, Mayor Pratomo, dan beratus-ratus anggota PKI yang
lain.
Dan salah satu strategi operasi yang
paling efektif dalam Operasi Trisula itu adalah “Pagar Betis” yang melibatkan
10.000 orang Banser ditambah warga masyarakat yang kebanyakan juga anggota
Banser yang tidak kebagian seragam. Satu ironi mungkin terjadi dalam Operasi
Trisula itu, yakni selama operasi itu berlangsung telah ditangkap sejumlah 182
orang anggota Kodam VIII/Brawijaya di antaranya berpangkat perwira yang ikut
dalam operasi tersebut (Pusjarah ABRI, 1995, IV-B:101-108).
(Dari berbagai sumber)
Kereennnn... Banser hebat!!!!
BalasHapus